Memilih yang Mudah dan Meninggalkan yang Sulit (Part-1)
7 min read
🖌 Al-Wafi; DR.Musthafa Dieb Al-Bugha
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
"Abu Hurairah Abdurrahman bin Shahr ra. berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apa yang kularang jauhilah, dan apa yang aku perintahkan laksanakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah banyak bertanya dan berselisih dengan Nabi mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)
💡 URGENSI HADITS
Para ulama mengatakan bahwa hadits ini sangat penting, karenanya layak untuk dihafal dan dikaji. Imam Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat penting dan merupakan Jawami’ul Kalimm (ucapan yang singkat dan padat), yang hanya dimiliki Rasulullah saw. Di dalamnya mencakup berbagai hukum yang jumlahnya tidak terbatas.” Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Ini adalah hadits yang sangat penting. Merupakan dasar agama dan rukun Islam, maka patut dihafal dan diperhatikan.” Ungkapan senada juga banyak dilontarkan oleh ulama-ulama lain.
Yang menjadikan hadits ini sangat penting, adalah perintah untuk senantiasa komitmen terhadap syariat Allah swt, baik yang berupa larangan maupun perintah, tanpa melakukan penambahan atau pengurangan.
📖 LATAR BELAKANG HADITS
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwasannya Rasulullah saw. berpidato di hadapan kami seraya berkata, “Wahai sekalian manusia, telah diwajibkan kepada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Ya Rasulallah, apakah dilakukan setiap tahun?” Rasulullah diam. Hingga orang tadi mengulanginya sampai tiga kali. Maka Rasulullah pun menjawab, “Andai saya jawab ya, tentulah akan diwajibkan setiap tahun. Dan kalian tidak akan mampu.”
Setelah itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah apa yang saya diamkan. Sesungguhnya kehancuran umat sebelummu adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika saya perintahkan kepada kalian untuk mengerjakan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian. Dan jika aku larang sesuatu maka tinggalkanlah.” (Shahih Muslim, al-Hajj, Fardhul Hajji Marrotan fil Umri. Hadits nomor 1337)
Riwayat lain menyebutkan bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Aqra’ bin Habis ra. Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa Aqra’ bin Habis bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulallah, haji dilakukan setiap tahun atau sekali?” Rasulullah menjawab, “Sekali, dan barangsiapa yang mampu maka kerjakanlah dengan segala kerelaan.” (Sunan Ibnu Majah, Fardhul Hajji, hadits no. 2886)
Abu Dawud dan al-Hakim juga menyebutkan riwayat senada (Sunan Abu Dawud no. 1721, dan al-Mustadrak, al-Manasik). Ada yang menyebutkan bahwa pidato Rasulullah saw. di atas dilakukan ketika haji wada’. Saat itu Nabi berdiri di hadapan kaum Muslimin dan berkhotbah menerangkan rambu-rambu agama dan berbagai kewajiban dalam Islam.
📚 KANDUNGAN HADITS
1⃣ Apa yang aku larang, maka juhilah
Larangan dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai berbagai pengertian, namun demikian kesemuanya mengacu pada dua hal, yaitu haram dan makruh.
a. Larangan yang sifatnya haram
Adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah melalui Nabi Muhammad saw. dengan berbagai dalil yang menunjukkan bahwa berbuatan tersebut adalah haram. Jika perbuatan ini dilanggar maka akan dihukum dengan hukuman yang setimpal, sesuai dengan ketentuan syara’, baik di dunia maupun di akhirat.
Contoh larangan yang bersifat haram adalah: larangan berzina, minum-minuman keras, makan barang riba, mencuri, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan menurut syariah, membuka aurat di depan orang yang bukan muhrim, berdusta, menipu, suap, ghibah, namimah, berbuat kerusakan dan berbagai perbuatan lain yang jelas-jelas dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Semua perbuatan itu harus ditinggalkan seketika. Seorang muslim tidak boleh melakukannya kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Itupun dengan berbagai syarat dan aturan yang ditetapkan oleh syariat.
b. Larangan yang sifatnya makruh
Larangan ini kadang disebut dengan nahy tanzihi. Merupakan larangan terhadap suatu perbuatan, namun dalil-dalil yang ada tidak menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya haram. Namun hanya bersifat makruh. Jika larangan tersebut dilanggar, maka tidak ada hukuman.
Contoh, larangan yang bersifat makruh: larangan makan bawang mentah (baik merah maupun putih) atau yang sejenisnya (berbau) bagi yang masuk masjid untuk shalat berjamaah. Berbagai larangan tersebut boleh dilakukan baik sedikit maupun keseluruhan, meskipun sebaiknya ditinggalkan.
2⃣ Keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya melanggar larangan.
Kita mengetahui bahwa setiap yang diharamkan, maka wajib dijauhi. Namun seseorang kadang mengalami kondisi yang memaksanya untukmelakukan sesuatu yang diharamkan. Andai ia tidak melakukannya, tentu akan berakibat fatal bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini syariat memberikan keringanan, dengan membolehkan orang yang terpaksa, untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya [dalam kondisi normal] dilarang.
Allah berfirman: “….Tapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia sebenarnya tidak sengaja dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173)
Ayat ini lah yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk merumuskan kaidah fiqih, “Adl-Dlaruratu tubihul mahdhurat” yakni keterpaksaan menyebabkan dibolehkannya larangan-larangan.
Sebagai contoh dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang tidak memiliki makanan sama sekali, dibolehkannya membuka aurat dalam rangka berobat ke dokter, tidak diterapkannya hukuman potong tangan terhadap orang yang mencuri karena terpaksa, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang memahami kaidah ini secara global tanpa merinci pengertian dan batasan-batasan darurat (keterpaksaan), dan tidak memahami sejauh mana dibolehkannya melakukan sesuatu yang haram dalam kondisi terpaksa. Karenanya masalah ini harus kita perhatikan benar-benar hingga kita tidak terperosok ke dalam satu kesalahan.
Para ulama, membatasi keterpaksaan pada kondisi yang dialami seseorang dan kondisi tersebut benar-benar mengancam nyawanya, mengancam hilangnya salah satu anggota tubuhnya, menyebabkan seseorang tidak mampu menjalankan kehidupan secara normal atau menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditanggung. Para ulama juga membatasi sejauh mana seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang dalam keadaan terpaksa. Batasan ini tertuang dalam sebuah kaidah berikut ini, “Keadaan darurat itu disesuaikan kadar kebutuhannya.” Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah, “..tidak sengaja dan tidak melampaui batas….” (Al-Baqarah: 173)
Dengan demikian seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang dilarang (dalam keadaan terpaksa) sekedar memenuhi kebutuhan. Karenanya barangsiapa yang terpaksa hingga harus makan bangkai maka ia tidak boleh memenuhi perutnya dengan bangkai, terlebih menyimpannya.
Barangsiapa terpaksa mencuri untuk memberi makan keluarganya, maka ia tidak boleh mengambil lebih dari kebutuhannya sehari semalam. Barangsiapa terpaksa membuka aurat di depan dokter untuk kepentingan pengobatan maka tidak boleh membuka di tempat lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan pengobatan. Bukan merupakan keterpaksaan bagi wanita berobat ke dokter laki-laki, padahal ada dokter wanita.
Bukan suatu keterpaksaan sebab usaha yang bertujuan menumpuk kekayaan dunia, memenuhi kebutuhan mewah dan bahkan mencontoh kebiasaan masyarakat yang sok modern dan senantiasa memburu barang impor. Modal yang sedikit bukanlah keterpaksaan untuk melakukan riba (hutang di bank) hingga ia bisa mengembangkan usaha. Rumah yang sederhana dan kecil bukanlah keterpaksaan untuk melakukan apa saja demi mendapatkan rumah yang besar dan mewah. Bukan suatu keterpaksaan bagi wanita yang memiliki suami untuk bekerja di luar rumah bahkan ikhtilaf dengan para lelaki yang bukan muhrimnya. Bahkan seandainya ia harus mencari nafkah, dan ada peluang kerja yang bebas ikhtilaf, maka ia tidak boleh memilih tempat kerja yang berikhtilaf. Semua itu dilandaskan pada kaidah, Dar’ul Mafasid muqaddamun ‘alaa jalbil mashalih (meninggalkan pintu-pintu kerusakan harus didahulukan daripada mendatangkann pintu-pintu kebaikan).
Barangsiapa yang sedang melakukan urusan dengan orang lain, atau sebuah instansi, bukanlah suatu keterpaksaan hingga ia main suap, agar urusannya mudah. Barangsiapa yang bergaul dengan masyarakat atau berusaha untuk mendekati dan mendakwahi seseorang, maka bukan merupakan suatu keterpaksaan, kalau ia harus menemaninya di meja judi, di kedai-kedai minuman keras, di tempat-tempat mesum dan mendiamkan kemunkaran yang terjadi. Demi mendapatkan kasih sayang suami, seorang istri tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang melanggar syariat.
3⃣ Komitmen terhadap perintah
Perintah, dalam al-Qur’an maupun sunnah mempunyai pengertian beragam. Namun demikian, para ulama sepakat bahwa asal kata perintah adalah thalab (permintaan). Permintaan ini mencakup dua hal yang asasi, yaitu: wajib dan sunnah. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi, “Dan apa-apa yang aku perintahkan kepada kalian.” Artinya, sesuatu yang diperintahkan baik bersifat wajib maupun sunnah.
a. Perintah yang bersifat wajib
Perintah wajib adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada umat Islam untuk melakukan sesuatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut wajib. Maka perintah tersebut wajib dilaksanakan dan jika ditinggalkan tentu akan mendapat hukuman, dan jika dilakukann maka akan mendapat pahala.
Contohnya: perintah untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa, amar ma’ruf nahi munkar, menepati janji, menerapkan hukum Allah dan berbagai perbuatan lainnya yang jelas-jelas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dalam bentuk yang mengikat.
Semua perintah tersebut wajib dilaksanakan dan sedikitpun tidak boleh disepelekan. Kecuali jika hilang salah satu syarat diwajibkannya atau karena adanya halangan dalam pelaksanaannya.
b. Perintah yang bersifat sunnah
Adalah perintah Allah swt. melalui Nabi Muhammad saw. kepada kaum muslimin untuk melakukan suatu perbuatan dan didasari berbagai dalil yang menyatakan bahwa perintah tersebut sunnah. Artinya, seorang muslim tidak wajib melakukan perbuatan tersebut. Jika ditinggalkan, maka tidak mendapatkan hukuman. Namun jika dikerjakan maka akan mendapat pahala.
Contohnya: perintah untuk melakukan shalat Rawathib (sunnah), perintah adzan, perintah untuk memperbanyak nafkah untuk keluarga, perintah infak untuk kebaikan, perintah untuk mencatat hutang, perintah makan dengan tangan kanan, dan berbagai perbuatan lainnya yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya namun dalam bentuk yang tidak mengikat.
Sebagai seorang muslim tentu lebih baik mengerjakan perintah-pertintah ini, meskipun boleh ditinggalkan. Karena dengan melakukannya seseorang akan mendapatkan pahala. Meskipun demikian tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.
☆☆☆☆
www.quranmulia.wordpress.com/hadits-arbain/hadits/
Post a Comment