contoh pendahuluan sejarah

Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
elayu adalah sebuah terminologi yang begitu unik dan menarik bagi
sebahagian kalangan, namun sebahagian lain melihatnya dari sisi
negatif. Terlepas dari perdebatan antara dua kalangan tersebut, Melayu
tak akan habis-habisnya untuk dikaji, diperdebatkan, ditelaah, dikupas,
diwacanakan, dan dilihat dalam realitas maupun konteks sosiobudayanya.
Istilah Melayu boleh dimaknai dengan pengertian yang sempit sebagai
etnik yang ada di Nusantara, atau bisa melebar sebagai ras dan peradaban
dalam lingkup Dunia Melayu. Kemudian sejak abad ke-13 ketika Islam
menjadi akar tunjang peradaban Melayu, maka segala aktivitas
kebudayaan Melayu bersandar kepada Islam yang mencerahkan.
Sehingga di abad ke-20 sampai sekarang ini, lazim pula dikenal istilah
Dunia Melayu Dunia Islam. Begitu pentingnya Islam sebagai dasar
peradaban Melayu, sehingga Melayu dipandang sebagai pemeluk Islam
yang  kaffah, dan peneroka awal Islam di rantau Nusantara. Namun
demikian, secara ras, tentu saja di kalangan ras Melayu ada juga yang
tidak beragama Islam. Ini pun diakui oleh orang-orang Melayu sebagai
saudara satu darah keturunan nenek moyang.
Menurut Ismail Hussein (1994) kata Melayu merupakan istilah yang
meluas dan agak kabur. Istilah ini maknanya merangkumi suku bangsa
serumpun di Nusantara yang pada zaman dahulu dikenal oleh orangorang Eropa sebagai bahasa dan suku bangsa dalam perdagangan dan
perniagaan. Masyarakat Melayu adalah orang-orang yang terkenal dan
mahir dalam ilmu pelayaran dan turut terlibat dalam aktivitas
perdagangan dan pertukaran barangan dan kesenian dari pelbagai wilayah
dunia.
Kelompok ras Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan Melayu
Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepuluan
Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Gathercole (1983) seorang pakar
MBab I: Pendahuluan
2
antropologi Inggris telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan
etnologi, yang menunjukkan bahwa bangsa Melayu-Polinesia ialah
golongan pelaut yang pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan
Hindia. Ia menggambarkan bahwa ras Melayu-Polinesia sebagai
kelompok penjajah yang dominan pada suatu masa dahulu, yang meliputi
kawasan yang luas di sebelah barat hingga ke Madagaskar, di sebelah
timur hingga ke Kepulauan Easter, di sebelah utara hingga ke Hawaii dan
di sebelah selatan hingga ke Selandia Baru. Demikian luasnya bentangan
wilayah budaya rumpun Melayu ini.
Dalam konteks Sumatera Utara, ciri kemelayuan yang utama adalah
budaya dan agama Islam. Etnik Melayu, selain mereka yang memang
bernenek moyang Melayu Semenanjung, Riau, Kalimantan—juga banyak
suku setempat seperti Mandailing-Angkola, Karo, Batak Toba,
Simalungun, dan suku pendatang seperti Aceh, Minangkabau, Jawa,
Arab, India, yang masuk menjadi Melayu dan memelayukan diri. Namun
di antara mereka ini ada pula yang mengakui dirinya dalam dwietnisitas.
Semua itu tak terlepas dari identitas kemelayuan yang terbuka, dan tak
membeda-bedakan asal keturunan, yang penting pelaksanaan budaya
yang dipandu oleh wahyu Allah.
Di antara identitas ras Melayu, selain bahasa, arkeologis, dan
antropologis, dapat pula dilihat dari bidang kesenian. Di Nusantara,
terdapat kesenian rumpun Melayu yang luas digunakan oleh
masyarakatnya. Syair misalnya, tedapat di semua kawasan Melayu
dengan berbagai variasinya. Begitu juga dengan ronggeng atau joget,
sebagai pranata atau institusi pergaulan sosial antara masyarakat Melayu
bahkan pendatang. Di dalam seni ronggeng ini terjalin nilai-nilai integrasi
sosial yang terbuka dan inklusif.
Di kawasan ini, kesenian Islam tumbuh berkembang dengan ciri khas
kawasan ini, di samping menerima seni-seni dari kawasan Islam lainnya,
apakah itu dari Timur Tengah atau Asia Selatan. Kesenian ini sangat
bervariasi dan menjadi kekayaan baik bagi bangsa Indonesia atau negara
rumpun Melayu lainnya.
Kadangkala ada beberapa genre kesenian yang sama-sama dimiliki oleh
negeri-negeri rumpun Melayu ini, sehingga jika dilihat dari perspektif
yang sempit (terutama dari titik pandang nasionalisme yang berlebihan)
dapat menimbulkan benih-benih pertentangan di antara negeri-negeri
rumpun Melayu tersebut. Bahkan tak jarang isu “penyerobotan kesenian”
ini didengung-dengungkan untuk tujuan politik praktis sesaat.  Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
3
Masalah itu menjadi kian rumit ketika setiap negara bangsa dalam Dunia
Melayu menonjolkan egosentrisme dan ultranasionalisme yang belebihan,
sehingga setiap negara ingin saling memiliki kesenian yang sama-sama
dipergunakan dan telah berlaku dalam proses budaya yang berlangsung
selama ratusan tahun. Antara negeri rumpun Melayu pun kadang tak
menyadari kalau nenek moyang mereka saling migrasi dalam beberapa
abad yang lalu, dan kemudian membawa kesenian-keseniannya.
Untuk melihat kedudukan kesenian ini, sewajarnya kita menyoroti secara
bijaksana melalui pendekatan budaya dan kesamaan, jangan menonjolkan
perbedaan. Bagaimana pun kita memiliki hubungan kebudayaan,
hubungan darah, hubungan ras, hubungan agama, hubungan sejarah,
hubungan sosial, dan seterusnya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika
sekarang ini kita harus mengkaji dan mendokumentasikan kesenian yang
ada di kawasan-kawasan negeri rumpun Melayu.
Buku ini adalah merupakan usaha saling pengertian dan saling
memahami, seperti disebutkan di atas. Adapun isi utama buku ini adalah
mengkaji bagaimana keberadaan seni pertunjukan (musik dan tari)
Melayu yang ada di kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara. Adapun
pendekatan yang dipergunakan adalah melalui multidisiplin ilmu. Oleh
karena itu, perlu dijelaskan bagaimana kedudukan seni dalam kajian
ilmiah, seperti estetika (filsafat keindahan), etnomusikologi, antropologi
tari, sosiologi, antropologi, sastra, dan lainnya. Sementara itu digunakan
pula berbagai teori yang lazim digunakan dalam bidang kajian seni
pertunjukan. Bagaimana kedudukan seni dalam kajian ilmu pengetahuan
atau sains, berikut ini akan penulis uraikan secara umum saja.
1.2 Seni dalam Kajian Estetika
Dalam sejarah pengetahuan dan sains, studi terhadap unsur-unsur
keindahan, dilakukan dalam disiplin yang disebut estetika (aesthetic) atau
dalam bahasa Indonesia lazim disebut  filsafat keindahan.
1
 Dalam
peradaban Barat, estetika dimulai dari sumber-sumber budaya Yunani
dan Romawi. Edward  et al. (eds.)  membagi sejarah perkembangan
filsafat Barat, termasuk estetika ke dalam periode-periode: (1) Plato, yang
pada prinsipnya memperbincangkan seni dan kerajinan (kriya), imitasi,
1
Dalam bahasa Indonesia kata  philosophy dalam bahasa Inggeris selalu
dipadankan dengan kata filsafat. Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia kata ini
lebih sering dipadankan dengan kata  falsafah. Ahli filsafat sering disebut dengan
filosof padanan dari kata  philosopher dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam
bahasa Melayu Malaysia sering disebut dengan filsuf.  Bab I: Pendahuluan
4
keindahan, seni dan pengetahuan, dan seni serta moralitas; (2)
Aristoteles, yang memperbincangkan pengetahuan tentang penikmatan
seni, imitasi, penikmatan keindahan, keuniversalan seni, serta katarsis;
(3) filosof klasik yang lebih akhir, yang umumnya berminat dalam puisi
dan masalah semantik. Di antaranya Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus;
(4) Abad Pertengahan yang ditokohi oleh St. Agustinus dan Thomas
Aquinas. Keduanya memisahkan unsur penikmatan dan hasil dari
keindahan. (5) Renaisans, yang berkembang pada abad ke-15 dan 16.
Pada saat ini dilakukan revivalisasi filsafat-filsafat Plato, sehingga
periode ini disebut juga dengan Neo-Platonisme; (6) Rasionalisme
Cartesian pada Zaman Pencerahan; (7) Empirisisme; (8) Idealisme Para
Filosof Jerman yang ditokohi oleh Immanuel Kant; (9) Romantisisme,
yang menekankan kepada unsur ekspresi emosional; serta (10)
Pcrkembangan Kontemporer (Edward et al. 1967: volume 1 dan 2).
Sebagai sebuah gagasan, ada keterhubungan antara kesenian dan estetika.
Berbagai cabang seni dapat juga ditampilkan seperti dalam seni teater
yang mencakup seni: visual, musik, sastra, dan tari. Saling keterhubungan
cabang-cabang seni ini memperlihatkan adanya sumber-sumber yang
sama, terutama dalam tahap ide, walaupun menggunakan media yang
berbeda-beda.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar
karya-karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaanperbedaan umum di antara cabang-cabang seni yang dihasilkan dalam
kehidupan kita. Namun demikian, dalam tahapan tertentu berbagai
cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang membentuk identitas
masyarakat pendukungnya.
Studi tentang estetika ini secara eksplisit dikemukakan oleh Adler el al.
(eds.) sebagai berikut:
The discipline called aesthetics may be described broadly as the study
of beauty and, to a lesser extent, its opposite.' the ugly. It may include
general or theoretical studies of the arts and of related types of
experiences, such as those of the philosophy of art, arts criticism, and
the psychology and sociology of  the arts. The world general is
emphasized because a narrowly specialized study of particular work of
art or artist would not ordinarily be regarded as an example of
aesthetics. Aesthetics has often defined more specifically as the science
of the beautiful, a definition implying an organized body of knowledge
covering a special field of subject matter.
The arts may be include the visual and theatre arts, music, dance, and
literature. In the ancient world, there was no clear distinction between Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
5
aesthetic and useful art. Aesthetic  as a philosopher or scientific
discipline is not to be confused with art, though it may undertake to
study the arts in a more or less intellectual, logical way. (1986:161).
Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni. Bahasan seni dalam
estetika mencakup masalah filosofis (pengetahuan) dan sains sekali gus.
Kemudian, secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang
lebih mcngedepankan aspek rasional dan empiris--yang didasari oleh
interaksi bangsa-bangsa di dunia ini. Dimulai oleh disiplin antropologi
yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni, seperti yang diuraikan
berikut ini.
1.3 Antropologi dan Seni
Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia (anthropos),
sebagai sebuah disiplin integrasi dari berbagai ilmu yang masing-masing
mempelajari suatu kompleks masalah-masalah khusus mengenai makhIuk
manusia (lihat Koentjaraningrat 1980:1). Integrasinya ini mengalami
proses sejarah yang panjang, dimulai sejak kira-kira. awal abad ke-19.
Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari
60 pakarnya dari berbagai negara Eroamenka bertemu mengadakan
simposiurn tahun 1951. Pendekatan ilmiah antropologi adalah
berdasarkan kepada kajian menyeluruh (universal) terhadap manusia,
yang mencakup bermacam jenis manusia, kebudayaannya, serta sernua
aspek pengalaman manusia. Pendalaman bidang-bidang antropologi di
antaranya adalah: antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi,
antropologi linguistik, dan etnologi.
Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas dapat dikaji
oleh antropologi budaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya,
beberapa disiplin yang objeknya adalah seni berdiri dan tetap memakai
berbagai teori dan metode dalam antropologi, seperti persinggungannya
dengan musikologi menghasilkan etnomusikologi, dengan tari
menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi
teater, dan seterusnya. Oleh karena itu, akan dibahas apa itu musikologi
secara garis besar saja.
Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya mempelajari musik
seni (art music) Barat seperti karya-karya Bach, Beethoven, Stravinsky,
musik gereja,  trobadour, trouvere,  dan lainnya. Ilmu ini mernbuat
dikotomi yang mencolok antara "musik seni" dan "musik primitif'
berdasarkan atas ada atau tidaknya budaya tulis dan teori yang telah Bab I: Pendahuluan
6
berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan
cenderung mengesampingkan ilmu-ilmu pengetahuan lain, kecuali yang
bersinggungan saja. Secara mendasar, musikologi bersifat historis budaya
Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya.
Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi mempunyai ciri-ciri
mempelajari manusia sepanjang masa; melihat sernua aspek budaya
manusia dan masyarakat sebagai sekelornpok variabel yang berinteraksi.
Antropologi mernpunyai orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian
historis akan tetapi pada dasarnya bersifat saintifik. Tujuan antropologi
adalah untuk memahami tingkah laku manusia.
Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang sama. Yang
pertama masuk pada studi humaniora, yang kedua adalah ilmu sosial.
Setelah berpadu dalam disiplin baru etnomusikologi, maka terjadi
perkembangan-perkembangan lebih lanjut, disertai ciri khas setiap
kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar-dasamya adalah ingin
mengetahui manusia, lewat jendela budaya musik secara universal.
Dalam perkernbangan selanjutnya, para musikolog yang sadar akan
kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog.
Atau ada juga etnornusikolog yang kajiannya adalah musik Eropa,
biasanya musik folk atau rakyat.
1.3.1 Interelasi
Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi dengan teater,
musik, dan tari. Yang pertarna menghasilkan. disiplin antropologi teater,
yang kedua etnomusikologi, dan ketiga etnologi tari, atau disebut juga
antropologi tari dan etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan
tersebut lahir di Barat, dan etnornusikologi muncul paling dahulu, yaitu
akhir abad ke-19 (1890-an). Demikian pula di Indonesia, etnornusikologi
lebih dahulu dibuka di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara tahun
1979, yang kemudian diikuti oleh institusi seni lainnya. Kemudian
disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater.
1.3.2 Etnomusikologi
Berdasarkan sejarah perkernbangan disiplinnya, etnornusikologi
mengenal dua kelompok definisi. Kelompok pertama adalah pengertian
yang lebih dekat dengan studi musikologi komparatif Barat. Definisi ini
dapat dibedakan atas tiga macam.  Pertama, definisi yang menekankan Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
7
pada jenis musik yang dipelajari yaitu musik dan alat musik dari semua
bangsa non-Eropa, termasuk suku yang disebut primitif, dan
bangsa-bangsa Timur yang berbudaya (Kunst 1950). Kedua, definisi yang
menekankan musik sebagai tradisi lisan, yaitu etnornusikologi pada
dasarnya mewarisi musik pada tradisi lisan (List 1962). Definisi ketiga,
merumuskan etnornusikologi sebagai bidang yang mempelajari musik di
luar masyarakat peneliti atau pengamat, yaitu etnornusikologi
mempelajari musik bangsa-bangsa lain (Wachsman 1969).
Selanjutnya definisi kelompok kedua menekankan kepada proses kerja
ilmuwan etnornusikologi. Mereka mendefinisikan etnornusikologi adalah
studi tentang musik di dalam konteks kebudayaan (Merriam 1964).
Definisi-definisi yang menekankan pada proses kerja, memaksa peneliti
untuk memusatkan kepada totalitas bukan kepada seperangkat komponen
dari bagian-bagian tertentu, untuk memperlakukan deskripsi sebagai
langkah awal dalam mengadakan studi, dan untuk membuat konsepsi
suara musik tidak terpisah, tetapi merupakan bagian dari totalitas
masyarakat dan budaya.
1.3.3 Antropologi Tari
Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang sebelumnya dikenal
sebagai etnologi tari, atau oleh sebagian pakar disebut dengan
etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi
penelitian di bidang etnologi tari telah berlangsung sejak tahun 1930-an.
Jika di bidang etnomusikologi ada tokoh Alan P. Merriam, maka dalam
antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch
Kurath yang kumpulan esainya diterbitkan tahun 1986 dengan judul Half
Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research
(CCDR, Flagstaff, Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh
yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi maupun
antropologi tari yaitu Curt Sachs.
Kurath menggunakan 20 tahun pertama karirnya sebagai penari dan
produser pertunjukan budaya, tetapi kemudian menceburkan dirinya di
bidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi
tari terdiri dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan
mendatangi upacara-upacara masyarakat yang diteliti; (2) mentransfer
pola-pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal dan layout
visual; dan (3) menginterpretasikan fakta-fakta yang telah
diorganisasikan.Bab I: Pendahuluan
8
Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar belakang
pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti-peneliti yang lebih
menekankan salah satu disiplin: antropologi atau tari. Seperti yang
dikemukakan oleh Adrianne Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari
biasanya adalah berlatarbelakang sebagai penari--yang melihat tari
terpisah dari konteks budaya masyarakatriya. Mereka selalu
mendeskripsikan tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan
pandangan masyarakat pelaku tari itu. Mereka mendeskripsikan secara.
struktural bagian-bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan
repetisi tari.
Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu. Antropologi
pada abad ke-20 telah berkembang dari pendekatan deskriptif dan natural
ke pendekatan yang menekankan kepada teori. Bagi antropolog, deskripsi
tari dari seluruh dunia ini bukan etnologi, hanya sekedar data, yang lebih
jauh harus dianalisis secara. etnografis, sehingga didapatkan
makna-makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode
ilmiah.
Menurut Janet Adshead dalam bukunya  Dance Analysis: Theory and
Practice (London, Dance Book, 1988:6) penelitian terhadap tari pada
perkembangan sekarang ini memerlukan bantuan disiplin lainnya, seperti:
antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat membantu untuk memahami tari dalam konteks yang
lebih luas, serta menjelaskan fungsi-fungsinya dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya.
1.3.4 Kajian Pertunjukan Budaya dan atau Antropologi Teater
Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu)
yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada
interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain
antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari,
etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik
sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada disiplin ini adalah
Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara
teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang
dilakukan di atas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar
panggung, seperi olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
9
ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual
to Theater On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience, The
ANTHROPOLOGY of Performance,  dan The Anthropology of
Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersarna Victor Turner
dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelurn ia meninggal dunia.
Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner
tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik,
praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan
ini diperlukan berdasarkan asurnsi dasar bahwa pengalarnan yang kita
alami tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi
dan impresi (kesan). Keseluruhan disiplin pertunjukan budaya di atas
umumnya mendasarkan kajianya pada pendekatan ilmiah dengan
menggunakan teori-teori.
1.4 Pendekatan Ilmiah dan Teori-Teori
Ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai
tahap-tahap dan prosedur tertentu, yang sering disebut dengan pendekatan
ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme,
hipotesis dan pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya
(Lihat Denzin dan Lincoln 1995).
Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. Dalam
mengkaji fenomena alam, biologi, sosial, budaya, dan lain-lainnya. Teori
memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang
ilmuwan dibekali dasar-dasar bagaimana mencari dan mengolah data--
sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori menurut Marckward
(1990:1302) memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skerna
pikiran, (2) prinsip dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak
pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan hipotesis untuk
menangani berbagai fenornena, (5) hipotesis yang mengarahkan
seseorang, (6) dalam matematika adalah teorema yang menghadirkan
pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan
tentang komposisi musik. Jadi dengan dernikian, teori berada dalam
tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan rasional telah
diujicoba terutama oleh pakar teori tersebut. Dalam dimensi waktu
teori-teori dari sernua disiplin ilmu terus berkembang. Teori-teori yang
dipergunakan dalam mengkaji tari, musik, teater/pertunjukan, seni rupa,
diambil dari berbagai disiplin atau dikernbangan sendiri secara khas,
seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini. Bab I: Pendahuluan
10
1.4.1 Semiotika
Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori
semiotika dalam rangka usaha untuk memaharni bagaimana makna
diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistern simbol yang membangun
sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de
Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce,
seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai
sistern yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi
(sound image)  atau signifier yang berhubungan dengan konsep
(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem larnbang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1)  representatum,  (2)
pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita
harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai
pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses
pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan
lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol.
Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka
disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti
tirnbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika larnbang tidak
menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan
negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan  semiotika, maka dua pakar pertunjukan
budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis,
mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistern
lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan
pemain dan 5 berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah:
kata-kata, nada bicara, mirnik, gestur, gerak,  make-up,  gaya rarnbut,
kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk
mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan
perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian.
Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan.
Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup: (1) diskusi
umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang
mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan,
(c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e)
kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah
momennya kuat, lernah, atau membosankan; (2) skenografi, yang Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
11
meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural,
keindahan, imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton
dengan panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya.,
(d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara
on-stage dan  off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan
dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistern tata cahaya; (4)
properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain;
(5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana
hubungan kostum antar pemain; (6) pertunjukan: (a) gaya. individu atau
konvensional, (b) hubungan antara pernain dan kelompok, (c) hubungan
antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pernain dan
peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana dialog
dikembangkan; (7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan:
(a) tahap keseluruhan, (b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda
seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang
tetap atau berubah tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a)
cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa yang dipilih,
(c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa
yang dijelaskan, (d) bagaimana struktur plot, (e) bagaimana cerita
dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f)
termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a)
terjemahan skenario, (b) peran yang diberikan. teks drama dalam
produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana
pertunjukan dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan
terjadi dalam pertunjukan, (c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran
penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12)
bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis, (b) imaji apa
yang menjadi fokus; (13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda
pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah
pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna
pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus
yang perlu dijelaskan, serta berbagai komentar dan saran lebih lanjut
untuk. melengkapi sejumlah pertanyaan dan memperbaiki produksi
pertunjukan.
Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian dari semiotika itu
adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.
Semiotic also called  Semiology, the study of signs and sign-using
behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist
Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within
society.” Although the word  was used in this sense in the 17th
century by the English philosopher John Locke, the idea of
semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in
different fields emerged only in the late 19th and early 20th Bab I: Pendahuluan
12
centuries with the independent work of Saussure and of the
American philosopher Charles Sanders Peirce.
Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and
logic. He defined a sign as “something which stands to somebody
for something,” and one of his major contributions to semiotics was
the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which
resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an
index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of
fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by
convention (as with words or traffic signals). Peirce also
demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for the
meaning must be continuously qualified.
Saussure treated language as a sign-system, and his work in
linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians
apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic
concept is Saussure's distinction between the two inseparable
components of a sign: the signifier, which in language is a set of
speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the
concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole,
or actual individual utterances, from langue, the underlying system
of conventions that makes such utterances understandable; it is this
underlying langue that most interests semioticians.
This interest in the structure behind the use of particular signs links
semiotics with the methods of structuralism  (q.v.), which seeks to
analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered
fundamental to structuralism  (especially structural linguistics) and
to poststructuralism.
Modern semioticians have applied Peirce and Saussure's principles
to a variety of fields, including aesthetics, anthropology,
psychoanalysis, communications,  and semantics. Among the most
influential of these thinkers are the French scholars Claude LéviStrauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland
Barthes, and Julia Kristeva.
Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta
tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama
pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar
linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika
adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang
menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah
dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan
semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai
contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru
muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof
Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.  Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
13
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan
perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda
sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.”
Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah
pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a)
ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah
tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b)  indeks, yang disamakan dengan
referennya (asap adalah tanda adanya api); dan (c) simbol, yang berkaitan
dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau
signal trafik).
Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion.
Panuti Sudjiman dan van Zoest (1992) menyatakan bahwa semiotika
berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar.
Manakala bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang
terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan pendekatan
semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat
di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Semiotika dapat menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang,
termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara penyampaiannya
(Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara
lambang, objek, dan makna (Eco 1979: 15; Littlejohn 1992:64; Manning
1987:26; Barthes 1967:79). Lambang itu mewakili objek yang
dilambangkan. Penerima yang menghubungkan lambang dengan objek
dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi sebagai perantara antara
lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna
lambang hanya terwujud dalam pikiran interpretan, selepas saja
interpretan menghubungkaitkan lambang dengan objek.
Dalam konteks kajian musik, terdapat beberapa makna musik. Salah satu
yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah
keterhubungan identitas. Bahwa tanda musikal adalah murni sebagai
sebuah ikon. Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa
ahli estetika musik, seperti Eduard Hanslick (1989:61) dan para
komposer seperti Pierre Boulez (1986:32), John Cage (1961:96), dan
Kostelanetz 1988:200), mengemukakan bahwa estetika musik itu sangat
bergantung kepada modus signifikasi. Sehingga ide musik murni atau
musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan musik dalam
kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan konsepsi
estetika yang berlainan.
Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik juga penting.
Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai imaji, diagram, dan Bab I: Pendahuluan
14
metafora. Imaji adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh
musikal ikonik adalah mulai dari suara burung sampai kepada musik
sesungguhnya. Dalam analisis semiotika ini, purlu pula bagi para
pengkajinya memperhatikan pada aspek metafora. Musik adalah bidang
semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji melalui berbagai titik
pandang.
1.4.2 Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji sejauh apa fungsi komunikasi seni pertunjukan, serta
bagaimana fungsi lagu dan tari dalam masyarakat, biasanya digunakan
teori fungsionalisme. Menurut Lorimer et al., teori fungsionalisme adalah
salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan
pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan
kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi
menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusiinstitusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud.
Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika
Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan
untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam
masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat  tribal, partisipasi dalam
upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di
antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya.
Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19,
khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang
sebagai sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott
Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh
kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekade 1970-an.
Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan
teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada
masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme
dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer  et
al. 1991-112-113).
Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan
pendapatnya mengenai fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi
memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau
individu. Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau
individu yang berinteraksi. Oleh karena itu, fungsi komunikasi bisa
dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik, dan
metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob 1991:16).
Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
15
(1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak
mengubah pandangan, dan (4) untuk menghibur orang lain.
Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai
konsep atau gagasan diberitahukan kepada orang lain (penerima
komunikasi), dan penerima ini menerimanya, yang kemudian dampaknya
ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirya isi
komunikasi itu akan direspons oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk
perilaku, balasan, dan lainnya. Pemberitahuan ini sangat penting dalam
konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa
salah seorang warganya meninggal dunia, melalui saluran komunikasi,
seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan
pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera
merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya. Akibatnya penerima
komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan
bukan lisan tadi, kemudian datang bertakziah ke tempat warganya yang
meninggal dunia.
Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa
komunikasi berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi
menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang lainnya. Ilmu
pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang
belum tahu. Berkat terjadinya komunikasi maka kelestarian kebudayaan
akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhirnya
masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu
pengetahuan.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau
memujuk khlayak untuk merubah pandangannya. Melalui komunikasi,
pandangan seseorang atau masyarakat dapat diubah, dari satu pandangan
ke pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk
menurut stadar norma-norma sosial. Dalam konteks bernegara misalnya,
pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan bisa dipujuk
untuk menuruti ideologi yang selaras dengan negara. Dalam konteks ini
umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk departemen
komunikasi, informasi, atau penerangan. Tujuan utamanya adalah
memujuk masyarakat bangsa itu untuk menurut ideologi dan programprogram pembangunan yang dianut dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya
adalah bahwa melalui komunikasi seorang penyampai atau sumber
komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi,
yang memang dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi Bab I: Pendahuluan
16
sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau
sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya.
Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber kepada penerima.
Bentuknya boleh saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang
dirasakan penerima komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain
musik, melawak, dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui komunikasi
terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan
sosial. Demikian sekilas teori fungsionalisme komunikasi dalam seni
pertunjukan. Selanjutnya kita lihat bagaimana teori fungsionalisme di
bidang antropologi, serta bagaimana fungsi seni pertunjukan.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh
seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu
Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai
putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang guru besar dalam
ilmu sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski
memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik
juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari
Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca
buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi
tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada
Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.
Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan ia membaca buku J.G.
Frazer, bertajuk  The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang
menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi. Ia melanjutkan
belajar ke London School of Economics, tetapi karena di Perguruan
Tinggi itu tak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu yang
paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya ahli
etnologi, yaitu C.G. Seligman. Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor
dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai ganti
disertasi, yaitu The Family among the Australian Aborigines (1913) dan
The Native of Mailu (1913). Kemudian ia berangkat ke Pulau Trobiand di
utara Kepulauan Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk
melakukan penelitian tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada
tahun 1918, ia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai
asisten ahli di London School of Economics.
Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis
fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional
tetang kebudayaan, atau  a functional theory of culture. Ia kemudian
mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia
ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University Yale tahun Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
17
1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori
fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H.
Cairns dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi
berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam berbagai
kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan.
Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan
Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial
adat, perilaku manusia, dan pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap.
Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry
1957:82), yaitu:
(1) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan
pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap adat, perilaku manusia, dan pranata sosial yang lain
dalam masyarakat;
(2) Fungsi sosial suatu adat, pranata sosial, atau usur kebudayaan
pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap keperluan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai
maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat
yang terlibat;
(3) Fungsi sosial suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi
ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap keperluan
mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi suatu sistem
sosial tertentu.
Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan.
Kegemaran Malinowski terhagap ilmu psikologi juga tampak ketika ia
mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada
tahun 1935. Di sana ia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J.
Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian
mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas
dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan dari reaksireaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang
terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri dari
organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini
sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk
memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan
berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan.
Seperti telah diuraikan di atas, saat Malinowski awal kali menulis
karangan-karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat orang
Trobiand sebagai kebulatan, ia tidak sengaja mengenalkan pandangan Bab I: Pendahuluan
18
yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu
memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi
dari unsur-usur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan
menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski
mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia
meninggal dunia. Bukunya bertajuk A Scientific Theory of Culture and
Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori
tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks.  Namun
inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan
itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
keperluan naluri makhluk manusia yang  berhubungan dengan seluruh
kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur
kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan
nalurinya akan keindahan; ilmu pengetahuan juga timbul karena
keperluan naluri manusia untuk ingin tahu; teknologi muncul karena
keperluan manusia akan peralatan yang mempermudah hidupnya;
organisasi sosial timbul karena manusia ingin hidup berkelompok untuk
menuju cita-cita bersama, dan seterusnya. Namun banyak juga kegiatan
kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human needs
itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang peneliti boleh
mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat
dan kebudayaan manusia.
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Melinowski mengajukan sebuah
orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski
dalam artikel bertajuk “The Group and the Individual in Functional
Analysis”, dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 (1939),
hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan atau berasumsi
bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana
unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan yang telah menjadi
kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bahagian dari
kebudayaan dalam suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi
mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi
dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa
keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan
dasar yaitu keperluan sekunder dari para warga suatu masyarakat.
Keperluan pokok atau asas adalah seperti makanan, reproduksi
(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan,
kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Untuk memenuhi kebutuhan
dasar ini, muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan
sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
19
kebudayaan yang memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan
keinginan sekunder untuk kerja sama dalam mengumpulkan makanan
atau yang untuk diproduksi. Untuk ini masyarakat mengadakan bentukbentuk organisasi politik dan pengawasan sosial, yang akan menjamin
kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan
Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya
dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga
masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah
nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan
oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan
sebagai berikut: “nilai praktis teori fungsionalisme ini adalah teori ini
mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang
beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu
dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama,
oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi
mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat
primitif.” (Malinowski 1927:40-41).
2
Selain Malinowski pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi
lainnya adalah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, ia
mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep
fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown
merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang
untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justeru timbul untuk
mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah
masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan-hubungan sosial
yang ada (Radcliffe-Brown 1952).
2
Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah
bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam
kebudayaan manusia. Keinginan-keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak
bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus
memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat
menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengurusan soal
mendapatkan makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita
mengapa setiap mesyarakat berbeda pengurusannya mengenai pengadaan makanan
mereka. Dengan kata lain, teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa polapola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang
sebenarnya boleh sahaja dipenuhi dengan cara yang lain yang boleh dipilih dari
sejumlah alternative dan mungkin cara itu lebih mudah. (Ihromi 1987) Bab I: Pendahuluan
20
Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari
Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan
ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena
faktor perkawinan, yang terdapat dalam pelbagai masyarakat yang
berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan antara orang-orang
yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya
orang beripar, atau berbesanan. Ia menjelaskan bahwa masyarakat boleh
melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan
yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang
yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku
Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu lakilaki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang
kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang
terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak
lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik antara anggota
keluarga dapat dihindarkan dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada
orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi
dalam menjaga solidaritas sosial masyarakatnya. Demikian sekilas
tentang teori fungsionalisme yang lazim digunakan di bidang antropologi.
1.4.3 Teori Evolusi
Selain itu dalam seni pertunjukan lazim pula dipergunakan pula teori
evolusi. Pada dasarnya. teori evolusi menyatakan bahwa unsur
kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu,
dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih kompleks. Teori ini dalam
kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni. Misalnya seperti
yang dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari Malaysia dalam tulisannya.
yang berjudul  Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Bandaran
(1988), yang mengkaji perkembangan kebudayaan Melayu dari masa
kerajaan Melayu Melaka sampai akhir Perang Dunia Kedua--yaitu terdiri
dari masa Kerajaan Melayu Melaka 1400-an berkembang ke masa
pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura
1819, Pernerintahan Kolonial sampai 1874, 1880-an pertumbuhan teater
bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam, 1930 film Melayu, dan
1930-an radio. Wan Abdul Kadir melihat perkembangan budaya
masyarakat Melayu dari yang sederhana ke yang lebih kompleks dalam
batasan waktu tahun 1400-an sampai pertengahan abad ke-20 dan
berdasarkan penemuan teknologi baru. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara
21
1.4.4 Teori Difusi
Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya,
teori ini mengemukakan bahwa suatu kebudayaan dapat menyebar ke
kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada
alasan adanya suatu sumber budaya, maka ia sering disebut juga dengan
teori monogenesis (lahir dari suatau kebudayaan). Lawannya adalah teori
poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja
memiliki persamaan-persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi
sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya satu sumber
kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan, karena ada
unsur universal dalam diri manusia. Misalnya bentuk dayung perahu
hampir sama di mana-mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa
ada satu sumber budaya pembentuk dayung perahu. Katakanlah dayung
perahu berasal dari China Selatan. Teori ini banyak dipergunakan oleh
para pengkaji seni yang mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya.
Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa zapin
berasal dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan buktibukti peninggalannya di Yaman sekarang ini, dan persebaran kesenian ini
ke berbagai kawasan di Nusantara.
1.4.5 Teori Siklus Kuint dan Lainnya
Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog
telah mencapai tahap generalisasi, dengan menggunakan teori siklus kuint
(overblown fifth).  Dari bahan-bahan sejarah di China ditemui bahwa
untuk membentuk sebuah tangga nada, seorang rajanya bernama Huang
Ti memerintahkan memotong bambu dalam ukuran-ukuran tertentu
berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan 2/3. Di
Yunani-Romawi, India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari
alat-alat musik bersenar dengan membagi rasio panjangnya senar.
Sehingga didapati tangga nada heptatonik (7 nada) yang dibagi ke dalam
dua tetrakord (kumpulan empat nada tangga nada). Tangga nada jenis ini
dianalisis dalam teori devisif.
Para pengkaji seni yang meminati upacara-upacara terutama kematian,
selalu menggunakan teori  rites de passages  yang ditawarkan oleh
antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam
kondisi transisi dari suatu dunia ke dunia lain.
Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering
menggunakan teori  kantometrik, yaitu sebuah teori "general" untuk Bab I: Pendahuluan
22
melihat bagaimana struktur umum budaya musik yang diteliti melalui 37
jenis parameter dimensi ruang dan waktu dalam musik. Selain itu juga
dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur-unsur pembentuk
melodi, seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada, interval, kontur,
formula, dan lainnya (lihat Malm 1977).
Para etnolog tari, dalam mcngkaji struktur tari juga selalu menggunakan
teori koreometrik,  yang sama dasarnya dengan kantometrik namun
dipergunakan untuk mengkaji struktur tari. Unsur-unsur tari yang dibahas
di antaranya: waktu, ruang, dan tenaga.
Selain dari teori-teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak
kalah pentingnya juga dipergunakan teori-teori dalam ilmu eksakta.
Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran dalam pembuatan alat-alat
musik, dipergunakan teori reduksi oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari
ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan timber bunyi alat-alat
musik, biasanya dipergunakan disiplin fisika gelombang. Salah satu karya
monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang
berjudul The Acoustical Foundation of Music (1977).
Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji seni akan terus
berkembang, scsuai dengan perkembangan pcradaban manusia di muka
bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang
untuk mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan umat manusia secara
umum atau secara khusus kelompoknya.
Ternyata ilmu-ilmu pertunjukan budaya umumnya cenderung untuk
memakai pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Orang-orang seni
juga terbatas pengetahuannya berdasarkan latar belakang dan minat
kajiannya. Untuk itu diperlukan pemahaman lebih luas tentang teori dan
metode-metode ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan eksakta, terutama yang
dapat mengambangkan ilmu-ilmu seni pertunjukan budaya. Abad ke-21
adalah abad persaingan dan kemitraan sekaligus. Hanya mereka yang
mampu mengkaji, mengarahkan, menerapkan kebudayaan dilandasi jiwa
religiusitas yang akan. mampu menjawab tantangan zaman dan menjadi
masyarakat madani. Untuk itu marilah kita terus belajar sesuai dengan
ilmu yang kita miliki, sambil mempelajari ilmu-ilmu lain-tidak terjebak
dalam cabang ilmu secara sentris. Insya Allah.

sumber : http://blogbintang.com